Pemuda dan Sosialisasi.!!


DISKRIMINASI INTELEKTUAL PEMUDA MELALUI PENJAJAHAN SISTEM

Saya menyambut gembira ikut mengkampanyekan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah-tengah carut-marutnya hampir seluruh aspek kehiduapan bersama dalam sebuah negara bernama Indonesia.

Posisi mahasiswa
Mahasiswa sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Sejalan dengan itu, mahasiswa adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah entitas bernama perguran tinggi. Di mana setiap perguruan tinggi memiliki tugas menjalankan tri dharma perguran tinggi. Yang secara sederhana dapat disebutkan sebagai fungsi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan demikian menjadi jelaslah posisi mahasiswa dalam situasi hidup bersama dalam sebuah negara adalah sebagai agen perubahan yang selalu mengemban amanat dari setiap amanat penderitaan rakyat.


Masalahnya, saat ini gerakan mahasiswa masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. Gerakan mahasiswa kini menjadi tidak lagi fokus dalam satu isu bersama. Gerakannya tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius. Padahal, ruang publik sudah terbuka lebar.



Konsekuensi pelabelan tersebut telah berimplikasi pada pengabaian hak-hak sipil dan politik terhadap mereka yang selama ini selalu kesulitan dalam mengakses masalah pencatatan kependudukan (KK dan KTP). Mereka tidak leluasa mengisi kolom agama sesuai keyakinan yang mereka anut, kesulitan ini kemudian berimplikasi pada hak pencatatan pernikahan, kelahiran anak serta urusan hak sipil dan politik lainnya, termasuk juga administrasi hukum pada umumnya seperti pembukaan rekening, bank, sekolah, SIM dan seterusnya..
Realitas di masyarakat, jika ingin memperoleh kemudahan maka bisa ditempuh cara untuk “terpaksa/dipaksa/berpura-pura” mengakui/menganut salah satu dari 6 agama resmi tersebut. Sebuah cara yang dianggap pintas/mudah namun mengoyak perasaan dan hak asasi mereka yang seharusnya sudah dijamin dalam konstitusi dan dilindungi oleh undang-undang. Ironisnya, dalam sejarah bangsa Indonesia, 6 agama resmi tersebut merupakan “produk import” sementara ratusan kepercayaan justru merupakan identitas asli dari jati diri bangsa Indonesia karena berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia asli.


Walau di sana menghadang tantangan yang luar biasa besarnya,
Pertama, isu keberagaman memang saat ini memang masih menjadi isu elit yang seolah-olah dampaknya tidak langsung dirasakan oleh rakyat miskin.
Bandingkan dengan isu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan dan lain-lain. Sementara, di lapangan realitas masyarakat (silence majority) yang mulai apatis dan apolitis bisa ditemui di mana saja.
Namun, bahayanya jika isu ini tidak diperhatikan secara serius, maka disintegrasi bangsa bukan sekadar wacana lagi. Karena, usaha-usaha untuk mengganti konstitusi dengan satu paham agama tertentu semakin gencar dilakukan melalui jalur parlementer.
Belum lagi isu nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda juga sudah mulai luntur. Meminjam istilah mereka sendiri, membicarakan nasionalisme adalah sesuatu yang sudah basi. Padahal, jika kita ingin terus-menerus menghargai perbedaan, maka Pancasila, dan konstitusi adalah solusi final. Sementara, saat ini semakin menguat dukungan banyak pihak yang ingin mengganti konstitusi dengan tafsir filosofi agama tertentu.
Terakhir, menutup makalah singkat ini, saya ingin berbagi semangat dengan mengutip apa yang menjadi refeleksi Edward Said menantang Anda sebagai seorang intelektual, “Jika Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihak Anda, di budaya Anda, di Bangsa Anda”.

0 komentar:

Posting Komentar

Find More

ilham Syahputra. Diberdayakan oleh Blogger.